Foto bersama Sebelum Berpisah |
Oleh Teguh MU
Jumat (5/2/2016). Acara closing ceremony student workshop: ”Exploring Cross-cultural Social Work”, di hall pascasarjana UIN Sunan Kalijaga berubah menjadi forum diskusi dadakan. Sebanyak 30an peserta baik dari UIN maupun dari Sydney, saling bertukar pendapat mengenai penanganan permasalahan social. Pemicunya adalah presentasi penutup yang disampaikan oleh Mrs. Margareth.
Dalam presentasinya, Margareth memaparkan kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Australia terhadap para imigran gelap. Alasan ekonomi dan politik, menjadi alas an kuat yang mempengaruhi campur tangan pemerintah dalam mengintervensi para imigran. Di Australia, tidak semua warganya menerima keberadaan para pendatang ini. Sebagian orang menganggap para pengungsi (terutama yang berasal dari Negara konflik) dapat menimbulkan masalah baru. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah Australia adalah dengan mengirimkan para imigran tersebut ke pulau-pulau kecil disekitar wilayah perairan Australia.
Di pulau-pulau seperti Nauru dan Christmas Island, yang notabene merupakan Negara dunia ketiga. Tentu masih sangat kekurangan dalam hal sumber daya, baik alam maupun manusia. Menempatkan imigran di kedua pulau tersebut dianggap sebagai langkah ‘pembuangan’ secara halus. Center-center imigran yang tersedia pun dinilai masih kurang memadahi.
Menurut data dari asosiasi pekerja social Australia, ada sekitar 370 pengungsi yang berada di Nauru rawan terhadap tindak kekerasan. Pemerintah Australia seakan cuek dengan apa yang terjadi di Nauru dan center-center yang lain. Besarnya anggaran untuk memfasilitasi mereka menjadi salah satu factor lemahnya perhatian pemerintah terhadap para imigran. Pun dengan mengembalikan mereka ke Negara asal, juga butuh biaya yang besar.
Secara garis besar, Margareth menyimpulkan bahwa, sebagai seorang peksos, peksos jangan hanya terpaku pada tindakan pertolongan level mikro. Peksos juga harus berfikir tentang level makro. Kebijakan yang merugikan klien, merupakan bagian dari sesuatu yang harus diperjuangkan. Oleh karena itulah, sangat pentingt bagi seorang peksos, untuk mampu menganalisis suatu kebijakan, apakah kebijakan tersebut pro rakyat kecil ataukah justru menindas rakyat kecil.
Presentasi dari Margareth tersebut, mendapat respon dari salah satu peserta workshop. Nadjib, mahasiswa IIS UIN, berpendapat bahwa langkah yang dilakukan pemerintahan Australia dengan ‘menggantungkan’ nasib para imigran ini sebagai tindakan yang kurang etis. Nadjib juga mengungkapkan bahwa, baik Indonesia maupun Australia, sebenarnya memiliki kesamaan dalam penanganan imigran. Yakni sama-sama melihat dari aspek ekonomi dan politik, dengan mengesampingkan nilai kemanusiaaan.
Suasana diskusi semakin hidup setelah para peserta saling berbagi pengalaman saat praktik pekerjaan social di negaranya masing-masing. Dari diskusi ini, peserta saling memberi tips dan saran terkait kasus yang dihadapi selama di lapangan. Seperti kasus yang didampingi oleh Ekmil, mahasiswa semester 6 IKS ini mendampingi klien pengguna narkoba. Klien sudah merasa sangat nyaman dengan Ekmil, sehingga klien tidak mau didampingi oleh peksos lain. Menanggapi kasus tersebut, Katie menyarankan kepada Ekmil, agar ketika hendak melakukan intervensi, klien harus diberi pemahaman tentang tugas atau fungsi peksos dalam kasusnya. Peksos juga harus memiliki batasan-batasan tertentu agar kejadian semacam ini tidak terjadi.
0 comments: